Skip to main content

Kepada hujan sore ini

Tak tahukah dirimu bahwa kau memenjarakan aku yang dingin dan lapar di ruangan yang berisi tigapuluhan komputer dan hanya tiga orang di dalamnya yang memainkan tuts kibord bersahutan dengan dentuman tak keruan dirimu di atas atap yang menggema mengerikan membawa imajiku pada siklon dan banjir yang selalu mengancam kotaku setiap tahun dan menggetirkan warga karena buaya akan bermunculan di sungai dan laut dan bahkan di rumah-rumah bila banjir coklat datang menggunung menggulung?

Kau mereda?

Terima kasih, sore ini kau hanya menyapaku sesaat, tak membiarkan aku menggigil dan beku kuatir seperti tempo hari saat mengingat dahan pohon besar yang membentang di atas atap rumahku yang tak pernah ku tahu kapan dia ambruk tetapi aku yakin bila kau datang terlalu sering membadai maka diapun akan menyerah tunduk pada amukanmu bukan pada doaku.

Aku pergi!

Comments

Popular posts from this blog

Ribuan kali sudah kuikuti putaran jarum jam dindingku Mata memerah lelah tak juga mampu membelai otak untuk istirahat barang sesaat Apakah ini persimpangan kita?

Cinta pertama

Malam tak tidur jua Walau senandung jangkrik memaksa Dan bulan meringkuk di ketiak kelapa memohon lirih: Tidurlah cintaku akan ku sampaikan gelisahmu padanya tentang kutuk dirimu yang tak bergumam dan tak bersenyum ketika bersua tentang selaksa kalimat cinta tertahan di gemeretak gigi tentang mata luruh walau mengerling sekalipun tentang langkah menggegas, memburu berlalu Yakinlah dia akan memaafkanmu karena aku akan membawa kabar sama darinya kepadamu

Di ujung senja

Aku melulur hari hari ku dengan peluh Menjaga syukur batin tetap menyala Memandu kaki yang tak bermata Sekian ribu hari berlalu masih tetap gelap Menekan harap ke titik terbawah Tapi di sisi jalan penyorak berteriak: Ayo kamu bisa! Ayo kamu bisa! Tapi ternyata merekalah yang lapar kemenangan lapar pesta pora! Tak peduli dengan luka luka Tak peduli dengan pahit hidup sejauh bukan miliknya